Stockholm Syndrome Itu Apa

Konseling dan terapi

Pendekatan utama dalam mengobati stockholm syndrome adalah melalui konseling psikologis dengan psikiater atau psikolog.

Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dilakukan untuk membantu korban memahami dan mengatasi perasaannya terhadap pelaku. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang berkembang selama situasi traumatis.

Dalam beberapa kasus, korban mungkin juga diberikan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau stres pasca-trauma.

Obat antidepresan dan obat anti-kecemasan dapat digunakan untuk membantu korban mengelola efek psikologis dari trauma.

Selain terapi formal, korban mungkin memerlukan dukungan dari kelompok sebaya atau keluarga. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu korban memulihkan diri dari trauma dan kembali menjalani kehidupan yang normal.

Kapan Harus ke Dokter?

Jika kamu atau orang terdekat mengalami situasi traumatis yang melibatkan kekerasan, penganiayaan, baik secara fisik maupun mental, kamu perlu segera melakukan pemeriksaan kesehatan ke profesional medis.

Informasi selengkapnya mengenai  Sindrom Stockholm bisa kamu dapatkan dengan cara download aplikasi Halodoc melalui App Store atau Google Play.

Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm adalah gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan menyayangi pelaku. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Stockholm syndrome diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Nils Bejerot, berdasarkan kasus perampokan bank yang terjadi pada 1973 di Stockholm, Swedia. Dalam kasus ini, para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku meski telah disekap selama 6 hari.

Sandera bahkan menolak bersaksi di pengadilan dan justru mengumpulkan dana bantuan hukum untuk membela pelaku.

GEJALA  STOCKHOLM SYNDROME PADA KORBAN KDRT

Sebagai seorang ahli psikolog, Rendra menjelaskan bahwa gejala yang dialami oleh korban dengan Stockholm Syndrome selain adanya simpati yang berlebihan pada pelaku, korban juga menampilkan gejala terkait Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

“Selain adanya simpati berlebihan kepada pelaku, individu yang mengalami Stockholm Syndrome juga kerapkali menampilkan beberapa simtom atau gejala yang terkait dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), antara lain seperti, adanya ingatan kilas balik peristiwa yang ia alami secara berulang, merasakan ketidakpercayaan, kesal, gelisah, ataupun cemas yang berulang, Kesulitan untuk bersikap tenang, tidak bisa menikmati hal-hal yang dulu ia sukai dan kesulitan untuk berkonsentrasi.” tuturnya.

REKOMENDASI PENANGANAN KORBAN KDRT DENGAN STOCKHOLM SYNDROME

Dalam mengangani dan mendampingi korban KDRT yang mengalami Stockholm Syndrome, Psikolog Rendra memberikan pengingat bahwa kondisi korban KDRT dengan Stockholm Syndrome merupakan kasus penangangan yang jarang sekali, dan apabila ada, maka korban memiliki resiliensi yang masih cukup membantu dirinya menghadapi kasus KDRT yang sifatnya berulang.

“Perlu diingat bahwa sindrom ini jarang sekali muncul dalam kasus kekerasan atau penculikan. Umumnya, mereka yang berada dalam situasi berkekerasan berulang masih memiliki resiliensi yang cukup yang membantu mereka menguatkan insting untuk bertahan hidup dan keluar dari situasi tersebut.” ucapnya.

Rendra pun memberikan rekomendasi bagi masyarakat secara umum apabila memiliki orang terdekat yang mengalami KDRT dan memiliki simpati berlebih atau gejala yang mirip dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam kasus KDRT yang dialaminya, alangkah baiknya dapat menjalani psikoterapi atau terapi obat-obatan.

“Jika kita atau mungkin orang yang kita kenal ada yang mengalami sindrom ini, maka untuk penanganannya akan perlu kombinasi antara psikoterapi dengan terapi obat-obatan. Dalam proses psikoterapi, khususnya proses konseling, individu yang bersangkutan akan diajak untuk memahami pengalamannya, memahami bahwa perilaku simpatik yang ia tunjukan tidak lebih dari mekanisme untuk bertahan hidup, dan mempelajari cara untuk melanjutkan hidup secara mandiri, atau dikembalikan rasa berdayanya.” tutupnya. (*)

Baca juga : KDRT Dapat Berulang Terjadi, Pahami 4 Siklusnya Agar Dapat Menghindarinya!

Tanyakan informasi mengenai pendaftaran, program hingga kurikulum Cikal bagi anak berkebutuhan khusus melalui Whatsapp berikut : https://bit.ly/cikalcs (tim Customer Service Cikal)

Artikel ini ditulis dan dipublikasikan oleh Tim Digital Cikal

Narasumber : Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog

Editor : Layla Ali Umar

Penulis : Salsabila Fitriana

Komplikasi Stockholm Syndrome

Sindrom Stockholm yang tidak ditangani dengan tepat dapat menimbulkan masalah emosional yang lebih luas. Orang yang mengalami sindrom ini dapat mengembangkan kondisi PTSD, kondisi traumatis, masalah pada harga diri, dan juga mengembangkan kondisi trust issue.

Pembinaan Olahraga

Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.

Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.

Penyebab Stockholm Syndrome

Sejauh ini para peneliti tidak tahu pasti penyebab mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.

Bisa jadi keberadaan sindrom ini sebagai teknik coping nenek moyang peradaban masa lalu.

Di mana pada situasi tertentu, tawanan membangun ikatan emosional dengan penculiknya untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.

Teori lain menyebutkan bahwa situasi tawanan atau pelecehan sangat emosional. Korban bisa “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya.

Ketika tidak disakiti oleh pelakunya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memandang pelakunya sebagai orang yang penuh belas kasihan.

Gejala Stockholm Syndrome

Orang yang mengalami stockholm syndrome sering menunjukkan beberapa gejala khas yang mengarah pada hubungan emosional.

Nah, hubungan ini cenderung tidak biasa dengan pelaku kekerasan atau penculik mereka. Gejala utamanya meliputi:

Pencegahan Stockholm Syndrome

Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.

Karena sindrom ini merupakan respons psikologis  yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.

Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.

Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.

Apa yang Menyebabkan Stockholm Syndrome?

Selama ini para peneliti tidak memahami secara pasti mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.  Namun, bisa jadi keberadaan sindrom ini merupakan teknik coping nenek moyang peradaban di masa lalu. Di mana pada situasi tertentu, tawanan memiliki ikatan emosional dengan penculiknya dengan tujuan meningkatkan peluang bertahan hidup.

Teori lain menjelaskan bahwa situasi tawanan maupun pelecehan sangat emosional. Korban dapat secara “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya. Ketika pelaku tidak menyakitinya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memiliki pandangan bahwa pelakunya adalah orang yang penuh welas asih.

Artikel - Metro Hospitals Group

Stockholm Syndrome adalah suatu gangguan psikologis, di mana korban penculikan, penyekapan, dan penyanderaan memiliki rasa kasih sayang dan empati terhadap pelaku. Sindrom ini bisa jadi muncul karena korban penculikan ingin meningkatkan peluang atau kesempatan untuk bertahan hidup, dan salah satu caranya adalah dengan bersimpati pada pelaku yang menculiknya.Stockholm Syndrome diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Nils Bejerot, berdasarkan kasus perampokan bank yang terjadi pada 1973 di Stockholm, Swedia. Dalam kasus ini, para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku meski telah disekap selama 6 hari.Sekarang ini, Stockholm Syndrome tidak hanya terjadi pada korban penculikan. Lebih luas dari itu, kondisi ini juga bisa dialami oleh orang-orang yang terjebak dalam toxic relationship, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), pelecehan pada anak dibawah umur.Mekanisme pertahanan diri Stockholm Syndrome ini dilakukan oleh korban ini semata-mata hanya untuk melindungi diri dari konflik, kejadian traumatis, ancaman, dan berbagai perasaan negatif lainnya (gelisah, takut, stres, marah, dan sebagainya).Cara Menangani Stockholm SyndromeTidak ada pengobatan khusus bagi penderita Stockholm Syndrome. Namun, psikiater akan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengatasi situasi traumatis, seperti peresepan obat antiansietas untuk mengatasi kecemasan yang dialami.Selain itu, psikoterapi juga akan dilakukan untuk menangani Stockholm Syndrome. Dalam psikoterapi, penderita akan diajarkan untuk mengatasi pengalaman traumatiknya.Tujuan akhir dari semua penanganan Stockholm Syndrome adalah untuk menyadarkan penderita bahwa yang mereka rasakan terhadap pelaku hanyalah metode pertahanan diri.

ERA.id - Apa itu stockholm syndrome? Sindrom stockholm merupakan mekanisme koping (coping mechanism) yang pada umumnya dialami oleh orang yang mengalami penculikan. Korban akan memiliki perasaan positif terhadap penculik atau pelaku dari waktu ke waktu. Kondisi ini juga dapat dialami korban dalam beberapa situasi lain misalnya pelecehan anak, pelecehan pelatih-atlet, pelecehan hubungan, dan perdagangan seks.